Menelusuri Sejarah Kabupaten Subang
Subangplus.com. Kabupaten Subang merupakan salah satu Kabupaten yang terletak
di Provinsi Jawa Barat. Secara Geografis Kabupaten Subang terletak di antara
107º 31' sampai dengan 107º 54' Bujur Timur dan 6º 11' sampai dengan 6º 49'
Lintang Selatan. Terbagi menjadi 30 kecamatan, serta 253 Desa dan Kelurahan. kabupaten
Subang, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, di
sebelah barat dengan Kabupaten Purwakarta dan Karawang, di sebelah timur dengan
Kabupaten Sumedang dan Indramayu dan Laut Jawa yang menjadi batas di sebelah
utara (subang.go.id).
Tetapi, tahukah bagaimana Kabupaten Subang bisa terbentuk
sampai hari ini? Di kutip dari laman subang.go.id,
sejarah Kabupaten Subang terbagi menjadi 7 (tujuh) fase, yaitu fase prasejarah,
fase Hindu, fase Islam, fase kolonialisme,fase nasionalisme, fase Jepang, fase
kemerdekaan.
Pertama, fase prasejarah. Beberapa bukti
adanya kelompok masyarakat pada masa prasejarah di wilayah Kabupaten Subang
adalah ditemukannya kapak batu di daerah Bojongkeding (Binong), Pagaden,
Kalijati dan Dayeuhkolot (Sagalaherang). Temuan benda-benda prasejarah bercorak
neolitikum ini menandakan bahwa saat itu di wilayah Kabupaten Subang sekarang
sudah ada kelompok masyarakat yang hidup dari sektor pertanian dengan pola
sangat sederhana. Selain itu, dalam periode prasejarah juga berkembang pula
pola kebudayaan perunggu yang ditandai dengan penemuan situs di Kampung Engkel,
Sagalaherang.
Kedua, fase Hindu. Pada saat berkembangnya
corak kebudayaan Hindu, wilayah Kabupaten Subang menjadi bagian dari 3
kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3
kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada
komunikasi dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara.
Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati)
membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak
perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa
tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian
Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara
menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur
Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda.
Ketiga, fase Islam. Masa datangnya pengaruh
kebudayaan Islam di wilayah Subang tidak terlepas dari peran seorang tokoh
ulama, Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar tahun
1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan
agama Islam ke berbagai pelosok Subang.
Keempat, ase kolonialisme. asca runtuhnya
kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa,
menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram,
Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh
di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk
menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang,
terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung
yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa
dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram
dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem
tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun.
Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.
Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.
foto: Peta Kabupaten Subang
Kelima, fase nasionalisme. Tidak banyak
catatan sejarah pergerakan pada awal abad ke-20 di Kabupaten Subang. Namun
demikian, Setelah Kongres Sarekat Islam di bandung tahun 1916 di Subang berdiri
cabang organisasi Sarekat Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di Sukamandi
(Ciasem). Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai
Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra (karyawan
P & T Lands).
Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengenukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.
Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengenukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.
Keenam, fase Jepang. Pendaratan tentara
angkatan laut Jepang di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942 berlanjut
dengan direbutnya pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi
catatan tersendiri bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama
kemudian terjadi kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang.
Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan
tentara pendudukan Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda
melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang
ini Sukandi (guru Landschbouw), R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan
dibunuh tentara Jepang.
Ketujuh, fase kemerdekaan. Proklamasi
Kemerdekaan RI di Jakarta berimbas pada didirikannya berbagai badan perjuangan
di Subang, antara lain Badan Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh,
dan lain-lain, banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian
menjadi anggota TNI. Saat tentara KNIL kembali menduduki Bandung, para pejuang
di Subang menghadapinya melalui dua front, yakni front selatan (Lembang) dan
front barat (Gunung Putri dan Bekasi). Tahun 1946, Karesidenan Jakarta
berkedudukan di Subang.
Pemilihan wilayah ini tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi perjuangan. Residen pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat. Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya selama Agresi Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah Songgom, Surian, dan Cimenteng.
Tanggal 26 Oktober 1947 Residen Kosasih Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan Purwakarta tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah perjuangannya. Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di Cimanggu, Desa Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan :
1.Wakil Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya Purwakarta.
2.Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan bupati pertamanya Danta Gandawikarma.
3.Wilayah Karawang Barat menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei. Wilayah Kabupaten Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta dengan ibukotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten Karawang Timur pada tanggal 5 April 1948 dijadikan momentum untuk kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan DPRD No. : 01/SK/DPRD/1977.
Pemilihan wilayah ini tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi perjuangan. Residen pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat. Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya selama Agresi Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah Songgom, Surian, dan Cimenteng.
Tanggal 26 Oktober 1947 Residen Kosasih Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan Purwakarta tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah perjuangannya. Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di Cimanggu, Desa Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan :
1.Wakil Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya Purwakarta.
2.Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan bupati pertamanya Danta Gandawikarma.
3.Wilayah Karawang Barat menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei. Wilayah Kabupaten Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta dengan ibukotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten Karawang Timur pada tanggal 5 April 1948 dijadikan momentum untuk kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan DPRD No. : 01/SK/DPRD/1977.
Lintasan sejarah tersebut menunjukan kepada kita, perjuangan
menjadi daerah otonom tersendiri merupakan perjuangan panjang. Pertanyaanya,
mampukah kita membawa Kabupaten Subang lebih maju? Menjelang peringatan Hari Lahir
Kabupaten Subang tentu masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi
oleh penyelenggara pemerintah Kabupaten: infrastruktur, pendidikan, ekonomi,
sosial dan budaya, termasuk pembenahan dalam tata kelola birokrasi.
Sumber: subang.go.id
Comments